Para ulama berbeda pendapat tentang apakah gaji wajib dizakati atau tidak jika telah mencapai nishab (senilai 86 gram emas). Namun, semuanya menetapkan bahwa sebagian penghasilan hendaknya diberikan kepada mereka yang membutuhkan atau sebagai amal sosial dalam bentuk zakat—bagi yang mewajibkannya—dengan persentase tertentu, atau dalam bentuk sedekah—bagi yang tidak mewajibkannya—dengan jumlah sesuai dengan keikhlasan masing-masing.
Tidak ada halangan menyerahkan zakat kepada keluarga jauh yang tidak menjadi tanggungan wajib. Tetapi, para ulama berbeda pendapat tentang menyerahkan zakat kepada keluarga dekat, seperti ayah, ibu, anak, saudara, paman, dan dengan banyak perincian. Jika keluarga itu berkedudukan sebagai pengelola zakat (‘âmil) atau terlantar dalam perjalanan atau memiliki utang akibat amal-amal saleh yang dilakukannya, maka zakat boleh saja diserahkan kepada mereka. Sebab, waktu itu penyerahannya bukan disebabkan oleh kekerabatan, melainkan oleh sebab lain sebagaimana Anda baca di atas. Tetapi, jika penyerahan itu didasarkan pada alasan bahwa sang kerabat itu fakir miskin, maka ini pun boleh dilakukan dengan syarat bahwa zakat si wajib zakat diserahkan terlebih dahulu kepada BAZIS. Kemudian, lembaga semi pemerintah ini menyerahkannya kepada keluarga dekat seperti ayah, ibu, anak, dan sebagainya.
Tetapi, jika yang bersangkutan sendiri membagikan zakatnya secara langsung kepada keluarga yang wajib ditanggung belanja hidupnya seperti ayah, ibu, dan anak, maka apa yang diserahkannya itu tidak dinilai sebagai zakat, tetapi sedekah.
Sebab, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi yang diriwayatakan
oleh Imam Ahmad, “Engkau dan hartamu milik ayahmu.” Apa pun yang secara ikhlas diberikan kepada mereka dinilai sebagai sedekah. Memang, ada ulama seperti Ibnu Taymiyyah yang berpendapat bahwa boleh menyerahkan zakat kepada kedua orangtua ke atas (nenek dan kakek), atau anak ke bawah (cucu) selama mereka miskin, sementara yang berzakat berpenghasilan pas-pasan dan keadaan dan tanggungannya yang lain (seperti anak dan istri) akan terganggu bila membelanjai lagi orangtuanya.
Tentang zakat untuk adik, di sini juga terdapat perbedaan pendapat. Agaknya, kita dapat menganut pendapat yang menyatakan bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada orang yang ditanggung kebutuhan hidupnya oleh pembayar zakat. Imam Syâfi‘î berpendapat bahwa yang wajib ditanggung kebutuhannya adalah ibu, ayah (ke atas), dan anak-anak (ke bawah). Mazhab Imam Mâlik lebih sempit. Mereka hanya mewajibkan ayah untuk menanggung kebutuhan hidup anak-kandungnya yang lelaki sampai baligh, dan yang perempuan sampai kawin dan digauli suaminya. Adapun cucu, sang kakek tidak harus menanggungnya. Begitu pula, cucu tidak harus menanggung kebutuhan hidup kakeknya.
Setelah dewasa, anak berkewajiban menanggung kebutuhan hidup kedua orangtuanya yang miskin. Suami berkewajiban menanggung kebutuhan hidup istrinya dan kebutuhan hidup seorang pembantu untuk istrinya. Saudara lelaki maupun perempuan tidak menjadi tanggungan. Karena itu, mereka boleh diberi zakat. Dalam pandangan mazhab ini, bahkan anak yang telah dewasa—walau mampu bekerja tetapi masih membutuhkan, misalnya sedang menuntut ilmu—boleh
diberi zakat. Singkatnya, tidak ada halangan dalam mazhab Mâlik dan Syâfi‘î untuk memberikan zakat kepada adik-adik selama mereka memenuhi salah satu kriteria kelompok yang berhak menerima zakat.
Wallâhu a‘lam.
(http://www.anneahira.com)
No comments:
Post a Comment